Minggu, 25 Mei 2014

Tentang Mahram

  1. PENDAHULUAN
  1. Latar belakang
Allah menciptakan segala sesuatu di alam ini berpasang-pasangan. Siang berpasangan dengan malam, negatif berpasangan dengan positif, jantan berpasangan dengan betina, laki-laki berpasangan dengan perempuan. Allah berfirman dalam surat Adz-dhariyat : 49 yang artinya,
Segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan, supaya kamu mengingat kebesaran Allah.”
Akan tetapi berpasang-pasangan manusia laki-laki dengan perempuan berbeda cara dan aturannya dengan binatang dan benda-benda lainnya.
Tentang cara aturan berpasang-pasangan atau perjodohan antara laki-laki dengan perempuan, Allah tentukan dengan cara perkawinan islam dalam agama islam yang mempunyai syarat, rukun, dan batas-batasnya tersendiri. Dalam perkawinan islam yang termasuk dalam penjelasan batas-batasnya, salah satunya adalah Muhram/mahram nikah atau siapa-siapa saja yang haram untuk dinikahi. Jadi, dalam makalah ini akan membahas tentang mahram nikah di dalam hukum perkawinan islam.
  1. Rumusan masalah
Penulis akan membahas tentang mahram nikah dalam hukum perkawina islam dengan pembatasan masalah sebagai berikut:
  1. Apa itu Mahram nikah?
  2. Apa dasar hukum mahram nikah?
  3. Apa saja pembagiannya dan siapa saja yang termasuk dalam mahram nikah tersebut?
  4. Apa dampak hukumnya?
  1. Metodologi penulisan
Untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan di atas, penulis menggunakan metode tinjauan pustaka agar jawaban yang di dapatkan benar/valid.
  1. Tujuan penulis
Dalam penulisan ini, bertujuan agar dapat mengetahui secara jelas tentang pembahasan mahram nikah atau siapa-siapa saja yang haram untuk dinikahi dalam hukum perkawinan islam seperti yang telah dirumuskan di dalam rumusan permasalahan.
  1. PEMBAHASAN
  1. Pengertian Mahram
Pengertian mahram dalam ilmu fiqih adalah kata “mahram” berasal dari bahasa arab yang berarti “yang dilarang/yang terlarang”, sesuatu yang dilarang/terlarang, maksudnya adalah wanita yang terlarang mengawininya.1
  1. Dasar hukum mahram nikah
Dasar hukum mahram nikah ini adalah dalil Al-qur’an yang terdapat dalam surat An-nisa, ayat 22-24.
Artinya :
22. “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu Amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).
23. Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
24. kamu miliki Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. dan Dihalalkan bagi kamu selain yang demikian(yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan Tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (Q.S. An-nisa : 22-24)
Dalam tiga ayat diatas Allah SWT menyebutkan perempuan-perempuan yang haram dinikahi. Dengan mencermati firman Allah tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa tahrim  pengharaman ini terbagi dua:
  1. Tahrim Muabbad (pengharaman yang berlaku selama-lamanya), yaitu seorang perempuan tidak boleh dinikahi selama-lamanya, yang termasuk kedalam tahrim muabbat ini, 2 yaitu:
  • terlarang karena nasab,
  • mushaharah, dan
  • radlaa’ah.
  1. Tahrim Muaqqat (pengharaman yang bersifat sementara), jika nanti keadaan berubah, gugurlah tahrim itu dan menjadi halal.
  1. Pembagian serta klasifikasi mahram nikah
Dari kesimpulan dalil Al-qur’an surat An-nisa :22-24, bahwasanya pengharaman terhadap perempuan-perempuan yg haram untuk dinikahi itu ada dua penyebab atau dua pembagian, yaitu:
  1. Mahram Muabbad
Mahram muabbad ialah perempuan-perempuan yang tidak boleh dinikahi sepanjang masa yang bersifat selama-lamanya.3
Penyebab keharamannya ini di karenakan 3 hal, yaitu:
  1. Haram karena Nasab
Keharaman ini tercantum dalam firman Allah surat An-nisa, ayat 23,4 yang artinya:
Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anakmu yang perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan”. (Q.S. An-Nisa:23)
Wanita yang diharamkan menurut ayat di atas adalah:
  1. Ibu-ibu, maksudnya ialah ibu kandung, ibu dari ibu, ibu dari ayah, dan seterusnya sampai ke atas.
  2. Anak-anak yang perempuan, maksudnya anak-anak perempuan, cucu-cucu yang perempuan dan seterusnya ke bawah.
  3. Saudara-saudara perempuan, maksudnya saudara-saudara perempuan sekandung, seayah, dan seibu.
  4. Saudara-saudara ayah yang perempuan, termasuk juga di dalamnya saudara kakek yang perempuan.
  5. Saudara-saudara ibu yang perempuan, termasuk juga di dalamnya saudara nenek yang perempuan.
  6. Anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, maksudnya saudara-saudara laki-laki yang sekandung, seayah atau seibu.
  7. Anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu perempuan, maksudnya saudara-saudara perempuan yang sekandung, seayah atau seibu.
Mengenai anak-anak perempuan dari saudara-saudara ayah dan saudara-saudara ibu yang perempuan ataupun yang laki-laki termasuk yang halal dikawini, karena termasuk dalam firman Allah surat An-nisa: 24,5 yang artinya:
...dan dihalalkan bagimu wanita-wanita yang selain itu...”(Q.S. an-nisa:24)
  1. Haram karena mengawini seorang wanita (mushaharah)
Yang haram karena mushaharah ini, yaitu:
  1. Ibu tiri atau bekas isteri ayah
Dasar hukumnya adalah firman Allah :
janganlah kamu kawini wanita yang telah dikawini oleh ayahmu...” (Q.S. An-nisa:22).
  1. Bekas istri anak
Dasar hukumnya adalah firman Allah :
...dan (bekas) istri-istri anak kandungmu”. (Q.S. An-nisa:23)
  1. Anak-anak tiri perempuan yang ibunya sudah digauli
Anak-anak tiri, ialah anak-anak perempuan dari anak perempuan tirinya, cucu perempuannya, dan terus ke bawah, karena mereka termasuk dalam pengertian anak perempuan dari istrinya.6 Dasarnya adalah firman Allah:
...dan anak-anak isteri (anak tiri)mu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika belum kamu campuri isterimu itu(dan sudah kamu ceraikan) maka tidak berdosa kamu mengawininya...”.(Q.S. An-nisa: 23)
  1. Ibu dari isteri-isterimu (mertua)
Termasuk di dalam ibu dari mertua, ibu dari mertua laki-lakidan seterusnya ke atas. Dasar hukumnya ialah firman Allah:
...Ibu dari isteri-isterimu”. (Q.S. An-nisa: 23)
  1. Haram karena sesusuan(radhla’ah)
  1. Dasar hukum
Firman Allah :
Diharamkan atas kamu (mengawini) ibumu, anak perempuan, saudara perempuanmu, saudar perempuan bapakmu, saudara perempuan ibumu, anak perempuan dari saudara laki-laki anak perempuanmu dari saudara perempuan, ibu yang menyusukanmu dan saudara perempuan dari sesusuanmu...”. (Q.S. An-nisa:23)
Berdasarkan ayat di atas, maka yang teramasuk mahram sesusuan ialah:
  • Ibu-susu, karena ia telah menyusuinya, maka dianggap sebagai ibu dari yang menyusu.
  • Ibu dari yang menyusui, sebab ia merupakan neneknya.
  • Ibu dari bapak-susunya, karena ia merupakan neneknya juga.
  • Saudara perempuan dari ibu-susunya, karena menjadi bibi-susunya.
  • Saudara perempuan bapak-susunya, karena menjadi bibi-susunya.
  • Cucu perempuan ibu-susunya, karena mereka menjadi anak perempuan saudara laki-laki dan perempuan sesusuan dengannya.
  • Saudara perempuan sesusuan baik yang sebapak atau seibu atau sekandung.tert
  1. Sesusuan yang mengharamkan
Imam malik beserta murid-muridnya beliau berpendapat bahwa pada hakekatnya tidak ada batas tertentu dari sesusuan yang mengharamkan.7 sesusuan yang mengharamkan ialah yang dilakukan dalam waktu tertentu.
Jika ia baru menyusu sekali atau dua kali, hal ini tidak menyebabkan haramnya kawin, karena bukan disebut menyusu dan tidak pula bisa mengenyangkan. Sesuai dengan sabda Rasullullah yang artinya adalah:
tidak mengharamkan satu kali hisapan dan tidak (pula) dua kali hisapan”. (H.R. Jama’ah kecuali Bukhari)
Berbeda dengan pendapat imam abu hanifah, ia berpendapat bahwa semua macam hisapan akan mengharamkan.8 Ahli dhahir memberi batas dengan tiga kali hisapan.9
Untuk kepastian hukum perlu ditetapkan jumlah hisapan bayi yang disusuinya, yang menyebabkan larangan perkawinan. Dalam hal ini imam syafi’i menetapakan lima kali hisapan susuan yang mengharamkan.10 Berdasarkan hadis nabi yang artinya :
Dari Aisyah R.A. ia berkata: dahulu di antara (ayat-ayat) al-qur’an yang diturunkan (terdapat kata-kata) sepuluh susuan, kemudian kata tersebut dinasakhkan dengan kata-kata lima kali hisapan yang diketahui, lalu Rasullullah wafat, sedangkan kata-kata itu termasuk dalam Al-qur’an yang dibaca”. (H.R. Muslim, Abu daud, dan An nasaai)
Sedangkan ada pendapat abu ubaid, abu tsur, daud adh-dhahiri, ibn munzir dan sebuah riwayat dari ahmad. Yang menyatakan bahwa susuan yang mengharamkan itu cup denga tiga kali menyusu atau lebih, sebagai mana hadis nabi yang arti nya:11
Tidaklah mengharamkan karena sekali atau dua kali susuan”
Keterangan ini dengan jelas menyebutkan susuan yang kurang dari tiga kali tidak mengharamkan dan apabila lebih dari tiga kali susuan baru dinyatakan mengharamkan.
  1. Air susu campuran
Menurut Hanafiah: air susu yang bercampur dengan benda atau cairan lain tidak mengharamkan, sedangkan syafi’iyah dan sebagian pengikut malik mengharamkan.12
  1. Masa menyusu
Para ahli fikih sepakat bahwa menyusui seorang anak adalah dua tahun, bagi orrang-orang yang ingin menyempurnakan susuan anaknya. Allah berfirman yang artinya:
dan ibu-ibu yang menyusui anak-anaknya dua tahun penuh bagi siapa yang ingin menyempurnakan penyusuannya.”(Al-baqarah:233)
  1. Persaksian atas penyusuan
Para ahli fiqih sepakat bahwa diperlukan adanyan saksi yang menyaksikan, berbeda pendapat para ahli dalam hal penetapan jumlah minimum saksi yang diperlukan. 13
Karena persaksian penyusuan dapat disamakan dengan persaksian muamalat, maka jumlah saksi minimumnya sama dengan persaksian muamalat, berdasarkan firman Allah: “... dan persaksikanlah olehmu dua orang saksi laki-laki di antara kamu, jika tidak ada dua orang laki-laki, maka (boleh) seorang laki-laki dan dua orang perampuan...” (Q.S. Al-baqarah:282)
Imam syafi’i membolehkan persaksian susuan itu dilakukan oleh empat orang perempuan sebagai ganti dari dua orang laki-laki atau seorang laki-laki dan dua orang perampuan.14
  1. Mahram Muwaqqat
Yang dimaksud dengan “tahrim muwaqqat” ialah larangan perkawinan dengan seorang wanita dalam waktu tertentu saja dan ada sebab yang mengharamkannya, jika sebab itu hilang maka perkawinannya boleh dilaksanakan.15
Mahram muwaqqad ada yang muttafaq alaihi(yang disepakati oleh para ulama) dan ada yang mukhtalaf alaihi(yang diperselisihkan oleh ulama).
  1. Tahrim muwaqqat yang di sepakat ulama ialah:
  1. Karena mengumpulkan
Dilarang mengumpulkan dua orang wanita yang ada hubungan mahram . termasuk di dalamnya mengumpulkan dua orang wanita yang bersaudara, ialah saudara sekandung, saudara seayah, saudara seibu ataupun saudara sesusuan.16 Berdasarkan firman Allah:
...diharamkan kamu mengumpul dua orang wanita yang bersaudara kecuali apa yang telah terdahulu...”(Q.S. An-nisaa:23)
  1. Karena terikat dengan hak orang lain
Diharamkan bagi orang islam mengawini istri orang lain atau bekas istri orang lain yangsedang iddah karena memperhatikan hak suaminya.17
Seorang wanita yang terikat oleh hak orang lain, adakalanya disebabkan oleh perkawinan dan adakalanya terikat oleh hak bekas suaminya, seperti istri yang dalam masa iddah. Dasar hukum tentang disebabkan oleh perkawinan adalah:
kamu miliki Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu....” (Q.S. an- nisaa:24)
Mengenai larangan mengawini wanita yang dalam masa iddah makudnya adalah wanita yang dalam masa iddah. Dasar hukumnya ialah:
Wanita-wanita yang ditalaq hendaknya menahan dirinya tiga kali quru’...” (Q.S. al-baqarah: 228)
  1. Wanita-wanita orang musyrik
Sepakat para ahli fiqih bahwa haram hukumnya laki-laki atau perempuan yang beragama islam mengawini laki-laki atau wanita yang musrik. Berdasarkan firman Allah:
janganlah kamu nikahi wanita-wanita musrik sebelum mereka beriman, sesungguhnya wanita-wanita budak yang mukmin lebih baik dari pada wanita musyrik, walaupun ia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan (wanita-wanita mukmin) dengan orang-orang musyrik sebelum mereka beriman, sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun ia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka sedang Allah mengajak ke syurga dan ampunan dengan izin-Nya...” (Q.S. al-baqarah-221)



  1. Wanita yang telah dicerai tiga kali
Wanita yang telah dicerai oleh suaminya tiga kali, haram dinikahi lagi oleh bekas suaminya itu, kecuali jika bekas istrintelah kawin dengan orang lain dengan perkawinan yang sah, kemudian bercerai dan telah habis masa iddahnya, baru bisa suami pertama mengawininya kembali dengan perkawinan yang baru dan mahar yang baru. Dasar hukumnya adalah:
kemudian jika suami mentalaqnya(setelah talaq yang kedua) maka perempuan itu tidak halal lagi baginya sampai ia kawin lagi dengan suaminya yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya untuk kawin kembali, jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah...” (Q.S. Al-baqarah: 230)
  1. Mengawini lebih dari empat wanita
Diharamkan seorang laki-laki menikahi lebih dari empat orang wanita, karena seorang laki-laki tidak dibolehkan mempunyai istri lebih dari empat. Berdasarkan firman Allah:
dan jika kamu takut tidak akan dapat (hak-hak) perempuan-perempuan yang yatim (bilamana mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita(lain) yang kamu senangi dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak dapat berlaku adil , maka kawinilah seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” (Q.S. an-nisaa: 3)
  1. Tahrim muwaqqat yang diperselisihkan ulama ialah:
  1. Orang yang sedang ihram
Para ahli fikih berbeda pendapat dalam hal ini, menurut imam malik dan imam syafi’i diharamkan orang-orang yang sedang ihram melaksanakannya, sedangkan imam abu hanifah membolehkannya.
Kalau dilihat dari segi haji sebagai ibadah dan dalam ibadah diperlukan adanya niat yang tidak putus-putusnya dilakukan selama melaksanakan ibadah itu, maka melaksanakan paerkawinan bagi orang yang sedang ihram akan merusak niat ibadah hajinya. Karena itu untuk beramal, maka pendapat imam syafi’i dan imam malik lebih mungkin diamalkan.18
  1. Orang pezina
Yang dimaksud dengan “orang pezina” ialah orang yang biasa melakukan perzinaan, baik laki-laki atau perempuan, dan belum ada niat untuk menghentikan perbuatan zina itu.
Tidak dihalalkan kawin dengan perempuan zina, begitu pula bagi perempuan tidak halal kawin dengan laki-laki zina, terkecuali sesudah mereka taubat.19
  1. Dan lain-lain
Yang dimaksud dengan lain-lain disini ialah maksalah-maksalah wanita yang skit berat, wanita yang dicerai karena li’an, zihar, dan ila’.20
  1. Dampak hukum
  1. Haram
Dampak hukum mahram ini, jika seorang lelaki menikahi perempuan-perempuan yang haram baginya, dampak hukum yang muncul adalah mutlak haram dan harus diceraikan, karena perempuan yang dinikahinya berstatus haram baginya, baik itu untuk selamanya maupun semantara, sebagaimana yang telah dijelaskan keharamannya di dalam Q.S. An-nisa: 22-24.
  1. Perceraian
Perceraian mempunyai akibat hukum yang luas, baik dalam lapangan Hukum Keluarga maupun dalam Hukum Kebendaan serta Hukum Perjanjian.21
Akibat pokok dari perceraian adalah bekas suami dan bekas istri, kemudian hidup sendiri-sendiri secara terpisah.
Dalam kasus mahram ini, jika terjadinya perkawinan yang semahram, maka harus diceraikan. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam sebuah hadis yang artinya:
Aku telah menikahi seorang wanita. Lalu datanglah seorang wanita berkulit hitam kepada kami dan berkata, “Aku telah menyusui kalian berdua.” Lalu aku mendatangi Nabi a dan berkata, “Aku telah menikahi Fulanah binti fulan. Lalu datanglah seorang wanita berkulit hitam kepada kami dan berkata, “Aku telah menyusui kalian berdua,” padahal ia dusta.” Kemudian Nabi a berpaling dariku. Lalu aku datang kembali ke hadapan beliau dan berkata, “Sesungguhnya ia dusta.” Nabi a bersabda, “Bagimana engkau menggauli isterimu, sementara wanita berkulit hitam tersebut telah mengaku menyusui kalian berdua? Tinggalkanlah ia darimu.”22
Dan dalam pemutusan perkawinan yang melalui lembaga perceraian, tentu akan menimbulkan akibat hukum diantara suami dan istri yang bercerai tersebut, dan terhadap anak serta harta dalam perkawinan yang merupakan hasil yang diperoleh mereka berdua selama perkawinan. Adanya putusnya hubungan perkawinan karena perceraian maka akan menimbulkan berbagai kewajiban yang dibebankan kepada suami-istri masing-masing terhadapnya. Seperti yang terdapat di dalam Pasal 41 Undang-undang Perkawinan, disebutkan bahwa akibat hukum yang terjadi karena perceraian adalah sebagai berikut:
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan memberi keputusannya.
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, maka pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri. Oleh karena itu, dampak atau akibat dari putusnya hubungan perkawinan karena perceraian, telah jelas diatur dalam Undang-undang Perkawinan.
Dampak-dampaknya ialah:
  1. Dampak terhadap hubungan suami-istri
Hubungan suami-istri terputus jika terjadi putusnya hubungan perkawinan/perceraian
Seorang istri yang ditinggal mati oleh suaminya, tidak boleh melaksanakan atau melangsungkan perkawinan sebelum masa iddahnya habis atau berakhir, yakni selama 4 (empat) bulan 10 (sepuluh) hari atau 130 (seratus tiga puluh) hari yang terdapat dalam Pasal 39 ayat (1) huruf a. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih berdatang bulan ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari dan bagi yang tidak berdatang bulan ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari terdapat dalam Pasal 39 ayat (1) huruf b. serta apabila ketika pada saat istrinya sedang hamil, maka jangka waktu bagi istri untuk dapat kawin lagi adalah sampai dengan ia melahirkan anaknya terdapat dalam Pasal 39 ayat (1) huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
Hal tersebut dilakukan untuk memastikan apakah si-istri itu sedang hamil atau tidak. Seorang suami yang telah bercerai dengan istrinya dan akan menikah lagi dengan wanita lain ia boleh langsung menikah, karena laki-laki tidak mempunyai masa iddah.
  1. Dampak terhadap anak
Menurut Undang-undang Perkawinan meskipun telah terjadi perceraian, bukan berarti kewajiban suami-istri sebagai ayah dan ibu terhadap anak di bawah umur berakhir. Suami yang menjatuhkan talak pada istrinya wajib membayar nafkah untuk anak-anaknya, yaitu belanja untuk memelihara dan keperluan pendidikan anak-anaknya itu, sesuai dengan kedudukan suami. Kewajiban memberi nafkah anak harus terus-menerus dilakukan sampai anak-anak tersebut baliq dan berakal serta mempunyai penghasilan sendiri.
Baik bekas suami maupun bekas istri tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya berdasarkan kepentingan anak. Suami dan istri bersama bertanggung jawab atas segala biaya pemeliharaan dan pendidikan anak-anaknya. Apabila suami tidak mampu, maka pengadilan dapat menetapkan bahwa ibu yang memikul biaya anak-anak.
  1. Dampak terhadap harta bersama
Akibat lain dari perceraian adalah menyangkut masalah harta benda perkawinan khususnya mengenai harta bersama seperti yang ditentukan dalam Pasal 37 Undang-undang Perkawinan, bahwa bila perkawinan putus karena perceraian, maka harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Menurut penjelasan resmi pasal tersebut, yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing adalah hukum agama, hukum adat dan hukum lain-lainnya. Memperhatikan pada Pasal 37 dan penjelasan resmi atas pasal tersebut undang-undang ini tidak memberikan keseragaman hukum positif tentang bagaimana harta bersama apabila terjadi perceraian.
Tentang yang dimaksud pasal ini dengan kata “Diatur”, tiada lain dari pembagian harta bersama apabila terjadi perceraian. Maka sesuai dengan cara pembagian, Undang-undang menyerahkannya kepada “Hukum yang hidup” dalam lingkungan masyarakat dimana perkawinan dan rumah tangga itu berada. Kalau kita kembali pada Penjelasan Pasal 37 maka Undang-undang memberi jalan pembagian :
  1. Dilakukan berdasar hukum agama jika hukum agama itu merupakan kesadaran hukum yang hidup dalam mengatur tata cara perceraian;
  2. Aturan pembagiannya akan dilakukan menurut hukum adat, jika hukum tersebut merupakan kesadaran hukum yang hidup dalam lingkungan masyarakat yang bersangkutan;
  3. Atau hukum-hukum lainnya.
Harta bawaan atau harta asal dari suami atau istri tetap berada ditangan pihak masing-masing. Apabila bekas suami atau bekas istri tidak melaksanakan hal tersebut diatas, maka mereka dapat digugat melalui pengadilan negeri ditempat kediaman tergugat, agar hal tersebut dapat dilaksanakan.
Mengenai penyelesaian harta bersama karena perceraian, suami-istri yang bergama Islam menurut Hukum Islam, sedangkan bagi suami-istri non-Islam menurut Hukum Perdata.23
  1. Dampak terhadap nafkah
Menurut pendapat umum sampai sekarang biaya istri yang telah ditalak oleh suaminya tidak menjadi tanggungan suaminya lagi, terutama dalam perceraian itu si-istri yang bersalah. Namun dalam hal istri tidak bersalah, maka paling tinggi yang diperolehnya mengenai biaya hidupnya ialah pembiayaan hidup selama ia masih dalam masa iddah yang lebih kurang selama 90 (sembilan puluh) hari. Tetapi sesudah masa iddah, suami tidak perlu lagi membiayai bekas istrinya lagi. Bahkan sesudah masa iddah, bekas istri itu harus keluar dari rumah suaminya andaikata ia masih hidup di rumah yang disediakan oleh suaminya. Jadi baik wanita yang masih dalam masa iddah ataupun masa iddahnya telah habis asal dalam perceraian ia bukan berada di pihak yang bersalah, maka ia berhak menerima atas biaya penghidupan. Ketentuan itu bisa dengan damai atas persetujuan bekas suami begitupun mengenai jumlah biaya hidupnya atau dapat pula dengan putusan perdamaian apabila bekas suami tidak dengan sukarela menyediakan diri untuk memberi biaya hidup tersebut. Ketentuan kemungkinan pembiayaan sesudah bercerai itu dalam Undang-undang Perkawinan diatur dalam Pasal 41 huruf C, yang berbunyi :
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.
Dan apabila bekas istri tidak mempunyai mata pencaharian untuk nafkah sehari-harinya, maka bekas suami harus memberikan biaya hidup sampai bekas istrinya itu menikah lagi dengan pria lain.
  1. KESIMPULAN
Istilah mahram adalah istilah yang terdapat di dalam bab fiqih nikah. Berasal dari kata haram yang artinya tidak boleh atau terlarang. Dari asal kata ini kemudian terbentuk istilah mahram, yang pengertiannya wanita atau laki-laki yang haram untuk dinikahi.
Dalam ajaran Islam ada ketentuan hukum bahwa tidak setiap pasang laki-laki dan perempuan boleh dan syah melangsungkan pernikahan, karena sebab-sebab tertentu mereka haram menjalin akad pernikahan. Laki-laki maupun perempuan yang haram dinikahi disebut mahram.
Secara garis besar larangan-larangan perkawinan dalam Syara’ itu dibagi dua, yaitu; Keharaman yang bersifat Abadi (Tahrim Mu’abbad), dan keharaman yang bersifat sementara (Tahrim Mu’aqqat).
Pernikahan adalah salah satu hal sacral dalam kehidupan manusia, karena menyangkut hidup kita dengan orang lain, baik kaitannya secara kepentingan dengan Allah maupun dengan manusia lainnya, Hidup bersama orang yang tepat secara syar’i berarti telah menjauhkan kita dari perbuatan hina dalam pandangan Allah.

DAFTAR PUSTAKA
Mukhtar, Kamal(1974). asas-asas hukum islam tentang perkawinan. Jakarta:Bulan Bintang.
Sabiq, Sayyid(1997). Fikih Sunnah (jilid 6),cet. 14. Bandung: P.T. Al ma’arif.
Sabiq, Sayyid(1997). Fikih Sunnah (jilid 2),cet. 14. Bandung: P.T. Al ma’arif.
Al jaza’iri, Abdurrahman.kitabul fiqh ‘ala madzahibil arba’ah (jilid ke-4),cet.Ke1
Rusyd, Ibnu(1950). bidayatul mujtahid (jilid 2), cet. Ke-2.
http://makalahmajannaii.blogspot.com/2012/07/mahram-nikah-kajian-ilmu-piqih.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar