PENDAHULUAN
Latar
belakang
Allah menciptakan
segala sesuatu di alam ini berpasang-pasangan. Siang berpasangan
dengan malam, negatif berpasangan dengan positif, jantan berpasangan
dengan betina, laki-laki berpasangan dengan perempuan. Allah
berfirman dalam surat Adz-dhariyat : 49 yang artinya,
“Segala sesuatu
kami ciptakan berpasang-pasangan, supaya kamu mengingat kebesaran
Allah.”
Akan tetapi
berpasang-pasangan manusia laki-laki dengan perempuan berbeda cara
dan aturannya dengan binatang dan benda-benda lainnya.
Tentang cara aturan
berpasang-pasangan atau perjodohan antara laki-laki dengan perempuan,
Allah tentukan dengan cara perkawinan islam dalam agama islam yang
mempunyai syarat, rukun, dan batas-batasnya tersendiri. Dalam
perkawinan islam yang termasuk dalam penjelasan batas-batasnya, salah
satunya adalah Muhram/mahram
nikah atau siapa-siapa saja yang haram untuk dinikahi. Jadi, dalam
makalah ini akan membahas tentang mahram
nikah di dalam hukum perkawinan islam.
Rumusan
masalah
Penulis akan
membahas tentang mahram nikah dalam hukum perkawina islam dengan
pembatasan masalah sebagai berikut:
Apa
itu Mahram nikah?
Apa
dasar hukum mahram nikah?
Apa
saja pembagiannya dan siapa saja yang termasuk dalam mahram nikah
tersebut?
Apa
dampak hukumnya?
Metodologi
penulisan
Untuk menjawab
permasalahan yang telah dirumuskan di atas, penulis menggunakan
metode tinjauan pustaka agar jawaban yang di dapatkan benar/valid.
Tujuan
penulis
Dalam penulisan ini,
bertujuan agar dapat mengetahui secara jelas tentang pembahasan
mahram nikah atau siapa-siapa saja yang haram untuk dinikahi dalam
hukum perkawinan islam seperti yang telah dirumuskan di dalam rumusan
permasalahan.
PEMBAHASAN
Pengertian
Mahram
Pengertian mahram
dalam ilmu fiqih adalah kata “mahram” berasal dari bahasa arab
yang berarti “yang dilarang/yang terlarang”, sesuatu yang
dilarang/terlarang, maksudnya adalah wanita yang terlarang
mengawininya.
Dasar
hukum mahram nikah
Dasar hukum mahram
nikah ini adalah dalil Al-qur’an yang terdapat dalam surat An-nisa,
ayat 22-24.
Artinya :
22.
“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh
ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya
perbuatan itu Amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan
(yang ditempuh).
23.
Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang
perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu
yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan
dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu;
saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak
isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu
campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah
kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan
bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan
(dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah
terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.
24.
kamu miliki Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang
bersuami, kecuali budak-budak yang Allah telah menetapkan hukum itu)
sebagai ketetapan-Nya atas kamu. dan Dihalalkan bagi kamu selain yang
demikian(yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini
bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati
(campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan
sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan Tiadalah mengapa bagi kamu
terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah
menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha
Bijaksana”. (Q.S. An-nisa : 22-24)
Dalam tiga ayat
diatas Allah SWT menyebutkan perempuan-perempuan yang haram dinikahi.
Dengan mencermati firman Allah tersebut, kita dapat menyimpulkan
bahwa tahrim pengharaman ini terbagi dua:
Tahrim
Muabbad (pengharaman yang berlaku selama-lamanya), yaitu seorang
perempuan tidak boleh dinikahi selama-lamanya, yang termasuk kedalam
tahrim muabbat ini,
yaitu:
terlarang
karena nasab,
mushaharah,
dan
radlaa’ah.
Tahrim
Muaqqat (pengharaman yang bersifat sementara), jika nanti keadaan
berubah, gugurlah tahrim itu dan menjadi halal.
Pembagian
serta klasifikasi mahram nikah
Dari kesimpulan
dalil Al-qur’an surat An-nisa :22-24, bahwasanya pengharaman
terhadap perempuan-perempuan yg haram untuk dinikahi itu ada dua
penyebab atau dua pembagian, yaitu:
Mahram
Muabbad
Mahram muabbad ialah
perempuan-perempuan yang tidak boleh dinikahi sepanjang masa yang
bersifat selama-lamanya.
Penyebab
keharamannya ini di karenakan 3 hal, yaitu:
Haram
karena Nasab
Keharaman ini
tercantum dalam firman Allah surat An-nisa, ayat 23,
yang artinya:
”Diharamkan atas
kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan,
saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang
perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anakmu yang
perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan”. (Q.S. An-Nisa:23)
Wanita yang
diharamkan menurut ayat di atas adalah:
Ibu-ibu,
maksudnya ialah ibu kandung, ibu dari ibu, ibu dari ayah, dan
seterusnya sampai ke atas.
Anak-anak
yang perempuan, maksudnya anak-anak perempuan, cucu-cucu yang
perempuan dan seterusnya ke bawah.
Saudara-saudara
perempuan, maksudnya saudara-saudara perempuan sekandung, seayah,
dan seibu.
Saudara-saudara
ayah yang perempuan, termasuk juga di dalamnya saudara kakek yang
perempuan.
Saudara-saudara
ibu yang perempuan, termasuk juga di dalamnya saudara nenek yang
perempuan.
Anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, maksudnya
saudara-saudara laki-laki yang sekandung, seayah atau seibu.
Anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu perempuan, maksudnya
saudara-saudara perempuan yang sekandung, seayah atau seibu.
Mengenai anak-anak
perempuan dari saudara-saudara ayah dan saudara-saudara ibu yang
perempuan ataupun yang laki-laki termasuk yang halal dikawini, karena
termasuk dalam firman Allah surat An-nisa: 24,
yang artinya:
“...dan dihalalkan
bagimu wanita-wanita yang selain itu...”(Q.S. an-nisa:24)
Haram
karena mengawini seorang wanita (mushaharah)
Yang haram karena
mushaharah ini, yaitu:
Ibu
tiri atau bekas isteri ayah
Dasar hukumnya
adalah firman Allah :
“janganlah kamu
kawini wanita yang telah dikawini oleh ayahmu...” (Q.S.
An-nisa:22).
Bekas
istri anak
Dasar hukumnya
adalah firman Allah :
“...dan (bekas)
istri-istri anak kandungmu”. (Q.S. An-nisa:23)
Anak-anak
tiri perempuan yang ibunya sudah digauli
Anak-anak tiri,
ialah anak-anak perempuan dari anak perempuan tirinya, cucu
perempuannya, dan terus ke bawah, karena mereka termasuk dalam
pengertian anak perempuan dari istrinya.
Dasarnya adalah firman Allah:
“...dan anak-anak
isteri (anak tiri)mu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah
kamu campuri, tetapi jika belum kamu campuri isterimu itu(dan sudah
kamu ceraikan) maka tidak berdosa kamu mengawininya...”.(Q.S.
An-nisa: 23)
Ibu
dari isteri-isterimu (mertua)
Termasuk di dalam
ibu dari mertua, ibu dari mertua laki-lakidan seterusnya ke atas.
Dasar hukumnya ialah firman Allah:
“...Ibu dari
isteri-isterimu”. (Q.S. An-nisa: 23)
Haram
karena sesusuan(radhla’ah)
Dasar
hukum
Firman Allah :
“Diharamkan
atas kamu (mengawini) ibumu,
anak perempuan, saudara perempuanmu, saudar perempuan bapakmu,
saudara perempuan ibumu, anak perempuan dari saudara laki-laki anak
perempuanmu dari saudara perempuan, ibu
yang menyusukanmu dan saudara perempuan dari sesusuanmu...”.
(Q.S. An-nisa:23)
Berdasarkan ayat di
atas, maka yang teramasuk mahram sesusuan ialah:
Ibu-susu,
karena ia telah menyusuinya, maka dianggap sebagai ibu dari yang
menyusu.
Ibu
dari yang menyusui, sebab ia merupakan neneknya.
Ibu
dari bapak-susunya, karena ia merupakan neneknya juga.
Saudara
perempuan dari ibu-susunya, karena menjadi bibi-susunya.
Saudara
perempuan bapak-susunya, karena menjadi bibi-susunya.
Cucu
perempuan ibu-susunya, karena mereka menjadi anak perempuan saudara
laki-laki dan perempuan sesusuan dengannya.
Saudara
perempuan sesusuan baik yang sebapak atau seibu atau sekandung.tert
Sesusuan
yang mengharamkan
Imam malik beserta
murid-muridnya beliau berpendapat bahwa pada hakekatnya tidak ada
batas tertentu dari sesusuan yang mengharamkan.
sesusuan yang mengharamkan ialah yang dilakukan dalam waktu tertentu.
Jika ia baru menyusu
sekali atau dua kali, hal ini tidak menyebabkan haramnya kawin,
karena bukan disebut menyusu dan tidak pula bisa mengenyangkan.
Sesuai dengan sabda Rasullullah yang artinya adalah:
“tidak
mengharamkan satu kali hisapan dan tidak (pula) dua kali hisapan”.
(H.R. Jama’ah kecuali Bukhari)
Berbeda dengan
pendapat imam abu hanifah, ia berpendapat bahwa semua macam hisapan
akan mengharamkan.
Ahli dhahir memberi batas dengan tiga kali hisapan.
Untuk kepastian
hukum perlu ditetapkan jumlah hisapan bayi yang disusuinya, yang
menyebabkan larangan perkawinan. Dalam hal ini imam syafi’i
menetapakan lima kali hisapan susuan yang mengharamkan.
Berdasarkan hadis nabi yang artinya :
“Dari Aisyah R.A.
ia berkata: dahulu di antara (ayat-ayat) al-qur’an yang diturunkan
(terdapat kata-kata) sepuluh susuan, kemudian kata tersebut
dinasakhkan dengan kata-kata lima kali hisapan yang diketahui, lalu
Rasullullah wafat, sedangkan kata-kata itu termasuk dalam Al-qur’an
yang dibaca”. (H.R. Muslim, Abu daud, dan An nasaai)
Sedangkan ada
pendapat abu ubaid, abu tsur, daud adh-dhahiri, ibn munzir dan sebuah
riwayat dari ahmad. Yang menyatakan bahwa susuan yang mengharamkan
itu cup denga tiga kali menyusu atau lebih, sebagai mana hadis nabi
yang arti nya:
“Tidaklah
mengharamkan karena sekali atau dua kali susuan”
Keterangan ini
dengan jelas menyebutkan susuan yang kurang dari tiga kali tidak
mengharamkan dan apabila lebih dari tiga kali susuan baru dinyatakan
mengharamkan.
Air
susu campuran
Menurut Hanafiah:
air susu yang bercampur dengan benda atau cairan lain tidak
mengharamkan, sedangkan syafi’iyah dan sebagian pengikut malik
mengharamkan.
Masa
menyusu
Para ahli fikih
sepakat bahwa menyusui seorang anak adalah dua tahun, bagi
orrang-orang yang ingin menyempurnakan susuan anaknya. Allah
berfirman yang artinya:
“dan ibu-ibu yang
menyusui anak-anaknya dua tahun penuh bagi siapa yang ingin
menyempurnakan penyusuannya.”(Al-baqarah:233)
Persaksian
atas penyusuan
Para ahli fiqih
sepakat bahwa diperlukan adanyan saksi yang menyaksikan, berbeda
pendapat para ahli dalam hal penetapan jumlah minimum saksi yang
diperlukan.
Karena persaksian
penyusuan dapat disamakan dengan persaksian muamalat, maka jumlah
saksi minimumnya sama dengan persaksian muamalat, berdasarkan firman
Allah: “... dan persaksikanlah olehmu dua orang saksi laki-laki di
antara kamu, jika tidak ada dua orang laki-laki, maka (boleh) seorang
laki-laki dan dua orang perampuan...” (Q.S. Al-baqarah:282)
Imam syafi’i
membolehkan persaksian susuan itu dilakukan oleh empat orang
perempuan sebagai ganti dari dua orang laki-laki atau seorang
laki-laki dan dua orang perampuan.
Mahram
Muwaqqat
Yang dimaksud
dengan “tahrim muwaqqat” ialah larangan perkawinan dengan seorang
wanita dalam waktu tertentu saja dan ada sebab yang mengharamkannya,
jika sebab itu hilang maka perkawinannya boleh dilaksanakan.
Mahram muwaqqad ada
yang muttafaq alaihi(yang disepakati oleh para ulama) dan ada yang
mukhtalaf alaihi(yang diperselisihkan oleh ulama).
Tahrim
muwaqqat yang di sepakat ulama ialah:
Karena
mengumpulkan
Dilarang
mengumpulkan dua orang wanita yang ada hubungan mahram . termasuk di
dalamnya mengumpulkan dua orang wanita yang bersaudara, ialah saudara
sekandung, saudara seayah, saudara seibu ataupun saudara sesusuan.
Berdasarkan firman Allah:
“...diharamkan
kamu mengumpul dua orang wanita yang bersaudara kecuali apa yang
telah terdahulu...”(Q.S. An-nisaa:23)
Karena
terikat dengan hak orang lain
Diharamkan bagi
orang islam mengawini istri orang lain atau bekas istri orang lain
yangsedang iddah karena memperhatikan hak suaminya.
Seorang wanita yang
terikat oleh hak orang lain, adakalanya disebabkan oleh perkawinan
dan adakalanya terikat oleh hak bekas suaminya, seperti istri yang
dalam masa iddah. Dasar hukum tentang disebabkan oleh perkawinan
adalah:
“kamu miliki Dan
(diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali
budak-budak yang Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai
ketetapan-Nya atas kamu....” (Q.S. an- nisaa:24)
Mengenai larangan
mengawini wanita yang dalam masa iddah makudnya adalah wanita yang
dalam masa iddah. Dasar hukumnya ialah:
“Wanita-wanita
yang ditalaq hendaknya menahan dirinya tiga kali quru’...” (Q.S.
al-baqarah: 228)
Wanita-wanita
orang musyrik
Sepakat para ahli
fiqih bahwa haram hukumnya laki-laki atau perempuan yang beragama
islam mengawini laki-laki atau wanita yang musrik. Berdasarkan firman
Allah:
“janganlah kamu
nikahi wanita-wanita musrik sebelum mereka beriman, sesungguhnya
wanita-wanita budak yang mukmin lebih baik dari pada wanita musyrik,
walaupun ia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan
(wanita-wanita mukmin) dengan orang-orang musyrik sebelum mereka
beriman, sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik
walaupun ia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka sedang Allah
mengajak ke syurga dan ampunan dengan izin-Nya...” (Q.S.
al-baqarah-221)
Wanita
yang telah dicerai tiga kali
Wanita yang telah
dicerai oleh suaminya tiga kali, haram dinikahi lagi oleh bekas
suaminya itu, kecuali jika bekas istrintelah kawin dengan orang lain
dengan perkawinan yang sah, kemudian bercerai dan telah habis masa
iddahnya, baru bisa suami pertama mengawininya kembali dengan
perkawinan yang baru dan mahar yang baru. Dasar hukumnya adalah:
“kemudian jika
suami mentalaqnya(setelah talaq yang kedua) maka perempuan itu tidak
halal lagi baginya sampai ia kawin lagi dengan suaminya yang lain.
Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa
bagi keduanya untuk kawin kembali, jika keduanya berpendapat akan
dapat menjalankan hukum-hukum Allah...” (Q.S. Al-baqarah: 230)
Mengawini
lebih dari empat wanita
Diharamkan seorang
laki-laki menikahi lebih dari empat orang wanita, karena seorang
laki-laki tidak dibolehkan mempunyai istri lebih dari empat.
Berdasarkan firman Allah:
“dan jika kamu
takut tidak akan dapat (hak-hak) perempuan-perempuan yang yatim
(bilamana mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita(lain) yang kamu
senangi dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak dapat
berlaku adil , maka kawinilah seorang saja atau budak-budak yang kamu
miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat
aniaya” (Q.S. an-nisaa: 3)
Tahrim
muwaqqat yang diperselisihkan ulama ialah:
Orang
yang sedang ihram
Para ahli fikih
berbeda pendapat dalam hal ini, menurut imam malik dan imam syafi’i
diharamkan orang-orang yang sedang ihram melaksanakannya, sedangkan
imam abu hanifah membolehkannya.
Kalau dilihat dari
segi haji sebagai ibadah dan dalam ibadah diperlukan adanya niat yang
tidak putus-putusnya dilakukan selama melaksanakan ibadah itu, maka
melaksanakan paerkawinan bagi orang yang sedang ihram akan merusak
niat ibadah hajinya. Karena itu untuk beramal, maka pendapat imam
syafi’i dan imam malik lebih mungkin diamalkan.
Orang
pezina
Yang dimaksud dengan
“orang pezina” ialah orang yang biasa melakukan perzinaan, baik
laki-laki atau perempuan, dan belum ada niat untuk menghentikan
perbuatan zina itu.
Tidak dihalalkan
kawin dengan perempuan zina, begitu pula bagi perempuan tidak halal
kawin dengan laki-laki zina, terkecuali sesudah mereka taubat.
Dan
lain-lain
Yang dimaksud dengan
lain-lain disini ialah maksalah-maksalah wanita yang skit berat,
wanita yang dicerai karena li’an, zihar, dan ila’.
Dampak
hukum
Haram
Dampak hukum mahram
ini, jika seorang lelaki menikahi perempuan-perempuan yang haram
baginya, dampak hukum yang muncul adalah mutlak haram dan harus
diceraikan, karena perempuan yang dinikahinya berstatus haram
baginya, baik itu untuk selamanya maupun semantara, sebagaimana yang
telah dijelaskan keharamannya di dalam Q.S. An-nisa: 22-24.
Perceraian
Perceraian mempunyai
akibat hukum yang luas, baik dalam lapangan Hukum Keluarga maupun
dalam Hukum Kebendaan serta Hukum Perjanjian.
Akibat pokok dari
perceraian adalah bekas suami dan bekas istri, kemudian hidup
sendiri-sendiri secara terpisah.
Dalam kasus mahram
ini, jika terjadinya perkawinan yang semahram, maka harus diceraikan.
Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam sebuah hadis yang artinya:
“Aku telah
menikahi seorang wanita. Lalu datanglah seorang wanita berkulit hitam
kepada kami dan berkata, “Aku telah menyusui kalian berdua.” Lalu
aku mendatangi Nabi a dan berkata, “Aku telah menikahi Fulanah
binti fulan. Lalu datanglah seorang wanita berkulit hitam kepada kami
dan berkata, “Aku telah menyusui kalian berdua,” padahal ia
dusta.” Kemudian Nabi a berpaling dariku. Lalu aku datang kembali
ke hadapan beliau dan berkata, “Sesungguhnya ia dusta.” Nabi a
bersabda, “Bagimana engkau menggauli isterimu, sementara wanita
berkulit hitam tersebut telah mengaku menyusui kalian berdua?
Tinggalkanlah ia darimu.”
Dan dalam pemutusan
perkawinan yang melalui lembaga perceraian, tentu akan menimbulkan
akibat hukum diantara suami dan istri yang bercerai tersebut, dan
terhadap anak serta harta dalam perkawinan yang merupakan hasil yang
diperoleh mereka berdua selama perkawinan. Adanya putusnya hubungan
perkawinan karena perceraian maka akan menimbulkan berbagai kewajiban
yang dibebankan kepada suami-istri masing-masing terhadapnya.
Seperti yang terdapat di dalam Pasal 41 Undang-undang Perkawinan,
disebutkan bahwa akibat hukum yang terjadi karena perceraian adalah
sebagai berikut:
a.
Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik
anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada
perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan memberi
keputusannya.
b.
Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam
kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, maka pengadilan
dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
c.
Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya
penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.
Oleh karena itu, dampak atau akibat dari putusnya hubungan perkawinan
karena perceraian, telah jelas diatur dalam Undang-undang Perkawinan.
Dampak-dampaknya
ialah:
Dampak
terhadap hubungan suami-istri
Hubungan suami-istri
terputus jika terjadi putusnya hubungan perkawinan/perceraian
Seorang istri yang
ditinggal mati oleh suaminya, tidak boleh melaksanakan atau
melangsungkan perkawinan sebelum masa iddahnya habis atau berakhir,
yakni selama 4 (empat) bulan 10 (sepuluh) hari atau 130 (seratus tiga
puluh) hari yang terdapat dalam Pasal 39 ayat (1) huruf a. Apabila
perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih
berdatang bulan ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan
sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari dan bagi yang tidak
berdatang bulan ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari terdapat dalam
Pasal 39 ayat (1) huruf b. serta apabila ketika pada saat istrinya
sedang hamil, maka jangka waktu bagi istri untuk dapat kawin lagi
adalah sampai dengan ia melahirkan anaknya terdapat dalam Pasal 39
ayat (1) huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
Hal tersebut
dilakukan untuk memastikan apakah si-istri itu sedang hamil atau
tidak. Seorang suami yang telah bercerai dengan istrinya dan akan
menikah lagi dengan wanita lain ia boleh langsung menikah, karena
laki-laki tidak mempunyai masa iddah.
Dampak
terhadap anak
Menurut
Undang-undang Perkawinan meskipun telah terjadi perceraian, bukan
berarti kewajiban suami-istri sebagai ayah dan ibu terhadap anak di
bawah umur berakhir. Suami yang menjatuhkan talak pada istrinya wajib
membayar nafkah untuk anak-anaknya, yaitu belanja untuk memelihara
dan keperluan pendidikan anak-anaknya itu, sesuai dengan kedudukan
suami. Kewajiban memberi nafkah anak harus terus-menerus dilakukan
sampai anak-anak tersebut baliq dan berakal serta mempunyai
penghasilan sendiri.
Baik bekas suami
maupun bekas istri tetap berkewajiban memelihara dan mendidik
anak-anaknya berdasarkan kepentingan anak. Suami dan istri bersama
bertanggung jawab atas segala biaya pemeliharaan dan pendidikan
anak-anaknya. Apabila suami tidak mampu, maka pengadilan dapat
menetapkan bahwa ibu yang memikul biaya anak-anak.
Dampak terhadap
harta bersama
Akibat lain dari
perceraian adalah menyangkut masalah harta benda perkawinan khususnya
mengenai harta bersama seperti yang ditentukan dalam Pasal 37
Undang-undang Perkawinan, bahwa bila perkawinan putus karena
perceraian, maka harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.
Menurut penjelasan resmi pasal tersebut, yang dimaksud dengan
hukumnya masing-masing adalah hukum agama, hukum adat dan hukum
lain-lainnya. Memperhatikan pada Pasal 37 dan penjelasan resmi atas
pasal tersebut undang-undang ini tidak memberikan keseragaman hukum
positif tentang bagaimana harta bersama apabila terjadi perceraian.
Tentang yang
dimaksud pasal ini dengan kata “Diatur”, tiada lain dari
pembagian harta bersama apabila terjadi perceraian. Maka sesuai
dengan cara pembagian, Undang-undang menyerahkannya kepada “Hukum
yang hidup” dalam lingkungan masyarakat dimana perkawinan dan rumah
tangga itu berada. Kalau kita kembali pada Penjelasan Pasal 37 maka
Undang-undang memberi jalan pembagian :
Dilakukan berdasar
hukum agama jika hukum agama itu merupakan kesadaran hukum yang
hidup dalam mengatur tata cara perceraian;
Aturan pembagiannya
akan dilakukan menurut hukum adat, jika hukum tersebut merupakan
kesadaran hukum yang hidup dalam lingkungan masyarakat yang
bersangkutan;
Atau hukum-hukum
lainnya.
Harta bawaan atau
harta asal dari suami atau istri tetap berada ditangan pihak
masing-masing. Apabila bekas suami atau bekas istri tidak
melaksanakan hal tersebut diatas, maka mereka dapat digugat melalui
pengadilan negeri ditempat kediaman tergugat, agar hal tersebut dapat
dilaksanakan.
Mengenai
penyelesaian harta bersama karena perceraian, suami-istri yang
bergama Islam menurut Hukum Islam, sedangkan bagi suami-istri
non-Islam menurut Hukum Perdata.
Dampak terhadap
nafkah
Menurut pendapat
umum sampai sekarang biaya istri yang telah ditalak oleh suaminya
tidak menjadi tanggungan suaminya lagi, terutama dalam perceraian itu
si-istri yang bersalah. Namun dalam hal istri tidak bersalah, maka
paling tinggi yang diperolehnya mengenai biaya hidupnya ialah
pembiayaan hidup selama ia masih dalam masa iddah yang lebih kurang
selama 90 (sembilan puluh) hari. Tetapi sesudah masa iddah, suami
tidak perlu lagi membiayai bekas istrinya lagi. Bahkan sesudah masa
iddah, bekas istri itu harus keluar dari rumah suaminya andaikata ia
masih hidup di rumah yang disediakan oleh suaminya. Jadi baik wanita
yang masih dalam masa iddah ataupun masa iddahnya telah habis asal
dalam perceraian ia bukan berada di pihak yang bersalah, maka ia
berhak menerima atas biaya penghidupan. Ketentuan itu bisa dengan
damai atas persetujuan bekas suami begitupun mengenai jumlah biaya
hidupnya atau dapat pula dengan putusan perdamaian apabila bekas
suami tidak dengan sukarela menyediakan diri untuk memberi biaya
hidup tersebut. Ketentuan kemungkinan pembiayaan sesudah bercerai itu
dalam Undang-undang Perkawinan diatur dalam Pasal 41 huruf C, yang
berbunyi :
c.
Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya
penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.
Dan apabila bekas
istri tidak mempunyai mata pencaharian untuk nafkah sehari-harinya,
maka bekas suami harus memberikan biaya hidup sampai bekas istrinya
itu menikah lagi dengan pria lain.
KESIMPULAN
Istilah mahram
adalah istilah yang terdapat di dalam bab fiqih nikah. Berasal dari
kata haram yang artinya tidak boleh atau terlarang. Dari asal kata
ini kemudian terbentuk istilah mahram, yang pengertiannya wanita atau
laki-laki yang haram untuk dinikahi.
Dalam ajaran Islam
ada ketentuan hukum bahwa tidak setiap pasang laki-laki dan perempuan
boleh dan syah melangsungkan pernikahan, karena sebab-sebab tertentu
mereka haram menjalin akad pernikahan. Laki-laki maupun perempuan
yang haram dinikahi disebut mahram.
Secara garis besar
larangan-larangan perkawinan dalam Syara’ itu dibagi dua, yaitu;
Keharaman yang bersifat Abadi (Tahrim Mu’abbad), dan keharaman yang
bersifat sementara (Tahrim Mu’aqqat).
Pernikahan adalah
salah satu hal sacral dalam kehidupan manusia, karena menyangkut
hidup kita dengan orang lain, baik kaitannya secara kepentingan
dengan Allah maupun dengan manusia lainnya, Hidup bersama orang yang
tepat secara syar’i berarti telah menjauhkan kita dari perbuatan
hina dalam pandangan Allah.
DAFTAR
PUSTAKA
Mukhtar,
Kamal(1974). asas-asas
hukum islam tentang perkawinan.
Jakarta:Bulan Bintang.
Sabiq,
Sayyid(1997). Fikih
Sunnah (jilid 6),cet. 14.
Bandung: P.T. Al ma’arif.
Sabiq,
Sayyid(1997). Fikih
Sunnah (jilid 2),cet. 14.
Bandung: P.T. Al ma’arif.
Al
jaza’iri, Abdurrahman.kitabul
fiqh ‘ala madzahibil arba’ah (jilid ke-4),cet.Ke1
Rusyd,
Ibnu(1950). bidayatul
mujtahid (jilid 2), cet. Ke-2.
http://makalahmajannaii.blogspot.com/2012/07/mahram-nikah-kajian-ilmu-piqih.html